Mengenang Detik-Detik Mengenaskan Tertembaknya Ade Irma Nasution, Perisai Bagi Sang Ayah Saat Peristiwa G30S/PKI
Ade
Irma Nasution, Perisai sang ayah saat peristiwa G30S/PKI, Misterikisah.com ~ Nama
Ade Irma Suryani Nasution selalu dikaitkan dengan peristiwa berdarah Gerakan 3
September 1965. Bocah perempuan berusia 5 tahun ini harus meregang nyawa akibat
kekejaman pasukan Tjakrabirawa komplotan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Walau nama Ade Irma tidak tercantum dalam target. Tapi
nama ayahnya Jenderal A.H Nasution termasuk
dalam daftar penculikan PKI. Malam itu, Ade Irma Suryani (5), putri bungsu
Jenderal A.H Nasution tidur bertiga bersama sang bunda, Johanna Sunarti
Nasution di kediaman mereka, jalan Teuku Umur No. 40 Menteng.
Saat jam menunjukkan 03.45 pagi tanggal 1 Oktober 1965,
Nasution mendengar keributan di luar rumahnya. Perasaannya mengatakan ada hal
aneh. Ternyata pasukan Tjakrabirawa datang untuk menangkap dirinya. Atas saran sang
istri, ia berhasil kabur melompati pagar dan menuju rumah Duta Besar Irak yang
bersebelahan dengan rumah mereka.
Pasukan Tjakrabirawa mulai masuk ke dalam rumah. Pintu
kamar yang ditutup dan dihadang oleh istri Nasution sulit terbuka sehingga
mereka menembaki pintu kamar berkali-kali. Suara tembakan itu membuat seisi
rumah semakin ketakutan dalam kondisi mencekam. Beruntungnya, istri Nasution,
serta ibu dan adik Nasution, Mardiah yang lari ke kamar Nasution selamat dari
tembakan. Tapi sayang, tembakan itu mengenai Ade. Tiga peluru langsung menembus
punggung si kecil.
Ketika pasukan Tjakrabirawa meninggalkan rumah, Johanna
dan keluarga langsung membawa Ade yang bersimbah ke RSPAD untuk mendapat
pertolongan. Setelah menjalani operasi, lima hari kemudian Ade tak bisa
bertahan hidup sehingga ia menghembuskan nafas terakhirnya. Ia dimakamkan di
Blok P Kemayoran dengan diiringi tangis kesedihan keluarga dan masyarakat.
Kepergian Ade Irma Suryani tentu meninggalkan luka yang
sangat dalam diri Nasution. Di saat dirinya berhasil kabur, justru sang putri
kesayangan harus merenggang nyawa karena menjadi perisainya.
“Anakku yang tercinta. Engkau telah gugur sebagai perisai
untuk Ayahmu. Ya Allah, terimalah putri kami ini dengan segala kebaikannya.
Kami mengantarkannya dengan ikhlas, mengembalikannya pada-Mu, karena Engkaulah
yang empunya,” kata Nasution seperti dikutip dalam buku yang berjudul “Tujuh
Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965”.
Seperti yang dikisahkan pengguna akun facebook bernama
Dian Andryanto ini, sebuah narasi mengenang bagaimana seorang anak jendral
meninggal dunia akibat tembakan yang dilakukan pasukan Tjakrabirawa.
Ia menuliskan sebuah puisi tentang Ade Irma yang menjadi
perisai sang ayah yang diunggah dalam jejaring sosial Facebook. Berikut
tulisannya:
PERISAI AYAH...
Peluru yang ditembakkan dari jarak dekat pasukan
Tjakrabirawa itu menembus tubuh kecilku.
Peluru itu kemudian bersarung di limpa. Enam hari aku
mencoba bertahan. Sebelum tak kuasa lagi, kemudian berpulang, 6 Oktober 1965.
Aku hanya anak kecil, yang cuma ingin bermain,
bersekolah, dan suka cita bersama ayah, ibu dan kakakku. Aku bocah perempuan
yang sedang senang-senangnya menggunakan pakaian Kowad, korps wanita angkatan
darat.
Aku tak tahu apa-apa tentang kejamnya orang-orang dewasa
dilumuri ambisi durjana. Sebelum 1 Oktober itu, entah mengapa aku senang
menyanyikan lagu "Gugur Bunga", berulang-ulang, tentang rasa sedih
kehilangan pahlawan. Aku pahlawan itu pada akhirnya.
"Papa, apa salah adek?" pertanyaan yang keluar
dariku, siapa yang bisa menjawab ketika tubuh kecil ini bersimbah darah. Peluru
tak pandang bulu, menerjangku.
"Mengapa Ayah ditembak, Mama?" Aku bertanya.
Tak satupun bisa menjawab.
Darah merah itu terus membasahi tubuhku dalam gendongan
ibuku. Aku mendengar ibuku berkata keras, "Kalian ke sini hanya untuk
membunuh anakku!"
Aku anak kecil itu, terenggut segala masa senangku.
Tercabut segala cita-citaku. Terampas bahagiaku oleh peluru yang kalian
tembakkan jarak dekat kepadaku. Aku hanya anak kecil, berkali-kali kutanyakan
apa salahku. Jawablah!
Kini aku terbaring di pusara bernisan putih, sendiri.
Berteman gurat tulisan ayahku, "anak saja jang tertjinta engkau telah
mendahului gugur sebagai perisai ajahmu"
Dalam gendongan terakhir ibuku, aku ditidurkan di sini
selamanya.
Kini, kalian meributkan kejadian dini hari 1 Oktober 1965
itu. Lihatlah aku!
....
Angin bertiup kencang siang itu. Bisikan daun-daun seakan
ingin mengisahkan lebih banyak lagi tentang Irma Surjani Nasution (Adik),
terampas segala darinya 1 Oktober 1965, pukul 03.45.
Terik siang bersimbah duka. Doa untuknya pun tak
sudah-sudah.
Baca Juga:
- Ternyata Rano Karno Pernah Ditolak Menjadi Pemeran Dalam Film G30S PKI Karena Hal ini
- Pemeran Kapten Pierre Tendean Ternyata Dipukul Popor Senjata Hingga Disundut Rokok Betulan, Begini Pengakuannya
- Kisah BJ Habibie Saat Kehilangan Ainun: "Saya Benci Semua Dokter", Alasannya Mengharukan
Unggahan ini pun mendapatkan banyak komentar dari
netizen. Mereka mengaku terharu membaca puisi yang mengenang Ade Irma Nasution.
Pahlawan kecil yang tak hanya dikenang oleh ayah dan keluarganya tetapi juga
rakyat Indonesia.
[Misterikisah/ Wb/ Io]